Ancaman krisis pangan masih saja menghantui Indonesia. Sekalipun tahun 2008 dinyatakan dapat berswasembada beras, ketidakpastian iklim global saat ini juga menjadi ancaman serius.
Hujan yang melanda Pulau Jawa awal tahun 2009 ini telah menghancurkan ribuan hektare sawah. Kondisi ini tentu amat mengkhawatirkan. Upaya menciptakan keanekaragaman pangan adalah sebuah keniscayaan, salah satu sumbernya dari lautan. Luas lautan Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2 menyediakan sumber pangan melimpah. Lautan menyediakan sumber pangan berupa ikan, crustacea, kerang-kerangan, dan rumput laut. Masalahnya, kita memanfaatkan sumber pangan lautan ini sering kali masih dalam bentuk segar, kecuali rumput laut. Ekspor ikan Indonesia pun masih dalam bentuk ikan segar. Proses diversifikasi pangan bersumber dari lautan masih minim. Kalaupun ada kuantitasnya relatif terbatas, seperti nugget ikan, bakso ikan, dan jenis pengolahan lainnya. Ikan masih dominan diolah secara tradisional, menjadi ikan asin, ikan kering, dan ikan kayu. Kita belum menemukan makanan cepat saji berbahan baku ikan. Kebanyakan makanan cepat saji masih berbahan baku daging ternak besar maupun unggas. Bahkan, merek dagangnya pun dari luar negeri.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Pertama, kultur pangan. Sekalipun perairan laut Indonesia amat luas, jumlah penduduk Indonesia yang mengonsumsi sumber pangan dari lautan relatif kecil. Konsumsi ikan penduduk Indonesia per kapita baru mencapai 25 kg per tahun. Bandingkan dengan Jepang yang mencapai di atas 100 kg per kapita per tahun. Kondisi ini berkorelasi dengan kultur masyarakat Indonesia. Pulau Jawa yang penduduknya mencapai 60% dari total penduduk Indonesia tidak memiliki tradisi pangan seafood. Sementara itu, sebagian besar penduduk luar Jawa mengonsumsi ikan, seperti Sulawesi, Maluku, Papua, dan sebagian besar pesisir Sumatera dan Kalimantan. Akan lebih afdol, jika pemerintah dan masyarakat mulai membudayakan konsumsi pangan bersumber dari lautan.
Bermazhab Beras
Kedua, teknologi. Penguasaan teknologi pengolahan pangan lautan masih berkutat pada teknologi tradisional. Model teknologi pengolahan ikan asing, kering, ikan kayu, dan pindang masih mendominasi. Kita belum mencapai teknologi madya dalam pengolahannya. Buktinya, Indonesia sampai kini masih saja mengimpor tepung ikan dan garam. Industri tepung ikan maupun garam kita terbentur problem teknologi. Makanya, mengupayakan pengembangan teknologi penganekaragaman pangan menjadi penting. Ketiga, geger budaya. Masyarakat Indonesia kerap kali mengalami problem ”geger budaya” termasuk dalam aspek pangan. Masyarakat merasa kurang percaya diri apabila tidak mengonsumsi pangan yang berlabel asing. Apalagi, kalangan muda Indonesia, menganggap diri ”kampungan” bila belum masuk restoran cepat saji yang namanya sudah marketable. Padahal, gizi makanan cepat saji belum tentu mengandung asupan gizi yang mencukupi kebutuhan tubuh manusia. Kemenangan usaha makanan cepat saji—sebagian besar milik perusahaan multinasional—adalah citra yang terbentuk. Padahal, kalau mengembangkan makanan cepat saji berbahan baku ikan dibarengi citra tersendiri akan lain ceritanya. Apalagi yang melakukannya masyarakat kita sendiri. Upaya ini selain mengandung unsur nilai-nilai kebangsaan, juga mampu “menganekaragamkan” produk pangan. Diversifikasi pangan tak hanya bersumber di daratan, melainkan juga di lautan. Implikasinya, Indonesia jauh dari ancaman krisis pangan. Keempat, politik pangan Indonesia selama ini cenderung bermazhab beras. Penganekaragaman pangan dan produknya masih sebatas slogan. Sebab, ukuran keberhasilan mencapai swasembada pangan bukan sekadar indikator keberhasilan suatu rezim pemerintahan melainkan juga sebagai dagangan politik pemegang pemerintahan yang sedang berjalan. Padahal, apabila pemerintah membebaskan rakyat untuk mengupayakan keanekaragaman dan mendiversifikasikan pangannya, hal itu otomatis akan menjauhkan rakyat dari ancaman krisis. Salah satunya melalui sumber pangan dari lautan. Inilah yang kurang mendapatkan perhatian serius sejak pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, maupun pada masa reformasi hingga saat ini. Politik pangan semacam ini telah menggerus kearifan lokal rakyat di pedesaan pesisir maupun pedalaman dalam menyediakan pangan secara berdaulat.
Urgensi Kedaulatan
Dalam medio awal tahun 2009 ini, di Menado akan berlangsung konferensi kelautan dunia atau World Ocean Conference (WOC). WOC ini akan dihadiri lebih dari 100 negara dari berbagai belahan dunia. Forum ini pasti akan membahas agenda-agenda penting mengenai kelautan dunia. Amat penting forum ini juga memasukkan isu “kedaulatan pangan” yang bersumber dari lautan sebagai salah satu agendanya, karena ancaman krisis pangan sudah menjadi kepedulian seluruh masyarakat dunia internasional. Ancaman iklim global yang sudah menjadi kekhawatiran dunia, termasuk pemerintahan Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Barack H Obama yang baru saja dilantik, mendapatkan prioritas. Iklim global memang akan menaikkan suhu permukaan bumi dan permukaan lautan. Tapi, dampak lanjutannya akan mengancam sumber pangan di darat maupun lautan. Iklim global akan menimbulkan kekeringan, banjir, badai dan topan yang menimbulkan kegagalan panen dari pertanian tanaman pangan. Juga, kenaikan suhu lautan mengancam kehidupan terumbu karang yang menjadi habitat ikan, dan terputusnya mata rantai makanan di lautan. Apabila rantai makanan terputus, berbagai jenis plankton yang rentan terhadap perubahan suhu ekstrem akan mengalami kematian. Padahal, plankton selain berperan sebagai produktivitas primer yang menghasilkan oksigen juga berperan sebagai sumber pakan bagi jenis ikan pada tingkatan suatu level rantai makanan di lautan. Berbagai riset tahun 2007 memprediksikan, apabila dampak iklim global ini tak diatasi maka baru pada tahun 2050 kita akan menikmati lagi seafood.
Mengapa? Terputusnya suatu komponen dalam rantai makanan akan memutuskan suatu sistem kehidupan dalam lautan. Maka, ide mengupayakan keanekaragaman pangan dan produknya bersumber dari lautan menjadi keniscayaan guna mewujudkan kedaulatan pangan. Jadi, pangan tak hanya bersumber dari daratan semata. Inilah substansi mengapa isu kedaulatan pangan menjadi urgen untuk diangkat dalam forum WOC.
Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.
0 komentar
Posting Komentar