US$ 50 Miliar Hilang di Sektor Perikanan Laut
Dunia menderita kerugian US$ 50 miliar setiap tahun di sektor perikanan laut (marine fisheries) akibat keburukan manajemen, inefisiensi dan kelebihan tangkap (overfishing). Demikian hasil kajian bersama Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Bank Dunia, yang disiarkan 9 Oktober 2008. Kalau dihitung keseluruhannya dalam tiga dasawarsa terakhir, total kerugian itu US$ 2 triliun. Laporan hasil kajian itu, berjudul The Sunken Billions: The Economic Justification for Fisheries Reform, mengingatkan, apabila perikanan laut dikelola dengan benar, kerugian itu bisa dibalikkan menjadi keuntungan ekonomi berkelanjutan bagi jutaan nelayan dan masyarakat pesisir. “Perikanan berkelanjutan mensyaratkan kemauan politik untuk mengubah dari insentif buat tangkap lebih ke insentif untuk pembinaan bertanggungjawab,” kata Kieran Kelleher, Ketua Tim Perikanan Bank Dunia. Kehilangan rezeki dari perikanan ini terjadi jauh sebelum harga BBM naik. Padahal usaha dan teknologi penangkapan ikan sudah berkembang pesat. Penyebab utamanya adalah merosotnya stok ikan di laut. Makin sedikit ikan yang bisa ditangkap, maka lebih makan ongkos untuk menjelajah, mencari dan menangkapnya. Terjadi kelebihan kapasitas armada menjadikan investasi mubazir dan pemborosan ongkos operasi.
Pembangunan armada, pemanfaatam peralatan teknologi yang lebih kuat dan canggih malah menambah pencemaran dan penciutan habitat ikan dan menurunkan ketersediaan-nya di seluruh perairan dunia. Perikanan laut mandek, selama lebih satu dekade, terus-terusan berkisar 85 juta ton/tahun. Produktifitas, dihitung dari penangkapan per nelayan dan per kapal ikan, menurun. “Terjadi kelebihan kapasitas yang masif pada armada perikanan global”, kata Kelleher. Dan ekses armada itu memperebutkan hasil sumber daya ikan yang produknya sudah stagnan dan tidak efisien secara ekonomi. Menurut FAO, lebih 75 persen stok ikan dunia sudah dieksploitasi penuh atau malah overexploited.
Hak Akses dan Kepemilikan Nelayan
Perikanan yang sehat secara ekonomi bukan ditentukan hanya oleh restorasi stok ikan, tapi oleh peningkatan kehidupan layak, ekspor, ketahanan pangan. Ini harus nampak dari kesinambungan suplai dan keuntungan dari kegiatan prosesing dan distribusi, dan penyediaan lapangan kerja. Rasionya, untuk setiap satu orang melaut, ada tiga orang yang bekerja di darat.
Laporan ini memaparkan jalan keluarnya, antara lain menegakkan hak hak nelayan dan masyarakat pesisir dan memberi insentif kepada mereka untuk bergiat di bidang perikanan secara ekonomis, efisien dan bertanggungjawab. Hak tersebut adalah akses dan kepemilikan. Dan untuk kegiatannya, para nelayan, berorganisasi atau berkelompok merumuskan bersama insentif yang dibutuhkan. Ini sudah tentu tentu cocok buat Indonesia yang punya garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada (81.000 kilometer) dan pemukim pesisir terbanyak di dunia. Lagipula hal ini sebenarnya mengembangkan ”rights-based fisheries” yang diserukan ASEAN tentang perikanan berkelanjutan dan ketahanan pangan (ASEAN’s Resolution on Sustainable Fisheries for Food Security for the ASEAN Region). Namun kita harus mewaspadai apa yang dikhawatirkan oleh pengamat pengamat perikanan dan kelautan IPB, Suhana dan Mohamad Karim terhadap privatisasi perairan pesisir yang dimungkinkan oleh UU No 27 Tahun 2007. Payung hukum tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berlaku efektif Juli 2008 itu memberikan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Pemerintah mengharapkan sistem HP-3 ini memberi pendapatan dari perijinan dan pajak. Tapi dampaknya bisa membuka peluang eksploitasi sumberdaya alam yang akan merusak lingkungan. Dan memarjinalkan rakyat yang harus berkompetesi dengan pihak pemodal yang jauh lebih kuat. (Sinar Harapan, 16 Juli 2008). Perlu pula dicatat, FAO dan Bank Dunia menyatakan bahwa US$ 50 miliar yang “nyungsep” di perikanan laut itu adalah ramalan konserfativ, dan tidak termasuk dari penangkapan ikan untuk rekreasi dan pariwisata, serta kerugian akibat pencurian. Nah berarti belum termasuk kerugian Rp 30 triliun (atau lebih 3 miliar dolar AS) yang diderita bangsa Indonesia setiap tahunnya oleh illegal fishing. Angka itu adalah 25 persen dari total potensi perikanan yang dimiliki Indonesia sebesar 1,6 juta ton per tahun.
Menjadi Rezeki Orang Lain
Pencurian ikan sering terjadi di Laut China Selatan dan Laut Arafura oleh kapal-kapal asing. Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Saud P Hutagalung bilang pencurian ikan di perairan Indonesia terjadi setiap hari. Pencurian ikan makin marak pasca kenaikan BBM, karena armada perikanan rakyat maupun nasional praktis menghentikan operasinya. Dikhawatirkan kapal kapal patroli TNI-AL dan DKP juga mengurangi pelayarannya, mengingat perairan yang dikover begitu luas, yakni 70% dari wilayah Nusantara. Ironisnya, kapal kapal asing seperti yang dari China, Vietnam, Thailand, Filipina, Malaysia, yang mencuri (di pihak mereka: mencari) ikan di perairan Indonesia menggunakan BBM yang disubsidi oleh negaranya. Maka muncul desakan agar kebijakan penyewaan pesisir dan pulau kecil yang bisa menyikut hak hidup nelayan ditinjau kembali, dan armada perikanan kita diberi subsidi. Tapi masih begitu banyak langkah yang harus ditempuh untuk memulihkan asset perikanan tangkap nasional senilai Rp 30 triliun, serta memperbaiki neraca perikanan dunia yang negatif 50 miliar dolar AS untuk kesejahteraan rakyat. Tidak cukup dengan memberikan hak hak dan insentif kepada nelayan dan masyarakat pesisir. Diperlukan tindakan untuk memulihkan lingkungan sumber daya perairan. Efisiensi tidak bisa lagi hanya bertumpu pada teknologi penangkapan yang hebat yang malah merusak habitat. Perlu ada moratorium penangkapan untuk memberi kesempatan pada pemulihan jumlah ikan. Menggencarkan akuakultur tanpa mencemari dan merusak pesisir. Perlu bilik bilik pendingin, perlu industri untuk memanfaatkan optimal hasil tangkapan seperti minyak ikan, tepung ikan, pengalengan, pengasapan dll. Doktrin klasik menyatakan laut adalah warisan bersama ummat manusia, tapi sama sekali tidak berlaku bahwa negara anggota masyarakat dunia itu harus membagi-bagi hasil penggalian dari warisan itu untuk menyantuni negara negara lain. Maka, kalau Indonesia tidak mampu menjaga, menggali, memanfaatkan perairannya sendiri, teritorial mau pun ZEE, maka Rp.30 trilun itu tetap menjadi rezeki orang lain, secara legal atau pun illegal.
Penulis adalah wartawan senior. Juga mengasuh dwimingguan agribisnis AGRINA.
0 komentar
Posting Komentar