Selamat Datang di Blog's OMBAK
Media Komunikasi dan Informasi Mahasiswa

Pengelabuan Nomenklatur Pukat Ikan

Pengelabuan Nomenklatur Pukat Ikan


Ide untuk melakukan moratorium sementara pukat ikan di Laut Arafura oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) hendaknya disambut dan disikapi secara bijak. Laut Arafura yang merupakan surga bagi kegiatan penangkapan ikan dan udang bisa jadi hanya tinggal kenangan akibat kesalahan pengelolaan. Berbagai hasil penelitian mengindika-sikan terjadinya penurunan stok ikan di perairan itu. Bahkan, kondisinya hampir mendekati lebih tangkap (over fishing atau over exploited). Ini disebabkan oleh banyaknya kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan pukat ikan dan pukat udang disamping adanya kegiatan illegal fishing dengan alat tangkap sejenis dan juga trawl berpasangan (pair trawl) yang jelas-jelas dilarang. Permasalahan yang terjadi di Laut Arafura yang mesti kita cermati adalah pengoperasian pukat ikan yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Jika melihat ke belakang, diizinkannya pengoperasian pukat udang di Laut Arafura adalah buntut dari Keppres No. 30 tahun 1980 tentang Penghapusan Trawl di Seluruh Wilayah Indonesia. Lalu dikeluarkan Keppres No. 85/1982 yang membolehkan pukat udang (trawl yang dilengkapi oleh alat pemisah ikan) beroperasi di perairan sekitar Kepulauan Kei, Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Aru, dan Irian Jaya, yaitu di Laut Arafura di sebelah timur garis 130°BT dan di luar isobath 10 meter. Berdasar regulasi tersebut, maka yang boleh beroperasi di Laut Arafura adalah pukat udang bukan pukat ikan. Pukat ikan atau dikenal dengan fish net tidak tercatat di dalam buku Statistik Perikanan Indonesia. Alat tangkap ini hanya diizinkan beroperasi di perairan ZEE Indonesia Samudera Hindia perairan barat Sumatera sekitar Daerah Istimewa Aceh dengan batas koordinat 4° LU s.d. 96° BT (SK Menteri Pertanian 770/Kpts/IK.120/10/96). Pengoperasiannya di Laut Arafura hanya diatur oleh Juklak Dirjen Perikanan No. IK. 340/DJ.3481/90K, sehingga tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Nomenklatur Pukat Ikan
Salah satu penyebab kesalahan adalah penamaan (nomenklatur) trawl yang tidak tepat. Penamaan pukat ikan di Indonesia jika merunut pada penamaan trawl secara internasional menurut International Standard Statistical Classification on Fishing Gears yang dirilis FAO, sebagai alat tangkap yang dioperasikan dengan cara menarik/menyeret jaring pada kolom perairan dengan kapal penangkap. Secara umum golongan ini dapat dibagi atas trawl dasar yang dioperasikan di dasar atau dekat dasar perairan (beam trawl, one-boat otter trawl, two-boat trawl) dan mid-water trawl yang dioperasikan jauh dari dasar perairan (otter trawl dan two-boat trawl). Trawl diklasifikasikan oleh von Brandt (1984) kedalam kelas alat tangkap dragged gears (metode penangkapan dengan alat yang diseret). Kelompok alat tangkap dalam kelas ini memiliki kantong atau dinding jaring yang diseret/ditarik pada perairan dekat dengan dasar atau kolom perairan untuk waktu tertentu. Prinsip penangkapannya adalah menyaring biota perairan yang cenderung pasif dengan alat tangkap trawl yang aktif. Klasifikasi nasional adalah yang dianut dari Standar Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, terbitan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Depar-temen Kelautan dan Perikanan. Pengklasifikasian ini dimulai sejak pertama kali diterbitkannya buku statistik perikanan Indonesia pada 1970-an yang didesain oleh Mr. Yamamoto seorang konsultan JICA yang bekerja untuk Direktorat Jenderal Perikanan pada waktu itu. Menurut standar tersebut, alat tangkap yang digunakan di seluruh Indonesia dibagi menjadi 10 kelompok, dan trawl diklasifikasikan sebagai pukat udang (shrimp trawl). Belum adanya standar baku penamaan termasuk standar baku desain dan konstruksi alat tangkap trawl telah menstimulir munculnya nama-nama lokal sebagai kamuflase untuk menghindari Keppres No. 39/1980 tentang pelarangan pengoperasian trawl. Pelanggaran dan modus operandinya diawali dengan pengaburan nama jaring (pukat) yang secara teknis konstruksi menyerupai trawl seperti jaring dogol, lampara dasar, arad, cantrang, otok (cotok), dengan cara memodifikasi sebagian desain-konstruksi dan mengubah cara pengoperasianya.

Akal-akalan
Menurut Juklak Dirjen Perikanan (No. IK. 340/DJ.3481/90K), pukat ikan didefinisikan sebagai jaring penangkap ikan berbentuk kantong yang dilengkapi sepasang (2 buah) papan pembuka mulut jaring (otter board), tujuan utamanya untuk menangkap ikan di perairan pertengahan (bathy pelagic) dan di perairan dasar (demersal), yang dalam pengopersiannya ditarik melayang di atas dasar oleh 1 (satu) buah kapal motor. Pengoperasian pukat ikan ini hanya dilakukan di ZEEI Samudera Hindia.
Dapat dikatakan dari fakta tersebut, pukat ikan sebenarnya adalah trawl yang dioperasikan di atas kolom perairan atau midwater trawl dan tidak dioperasikan pada dasar perairan sehingga target utama dari pukat ikan adalah ikan bukan udang, namun yang terjadi di lapangan adalah pukat ikan menangkap ikan demersal dan udang. Alasan yang dikemukakan jika diperiksa aparat, udang merupakan hasil tangkapan sampingan. Pemberian izin oleh DKP kepada pemilik kapal pukat ikan di Laut Arafura hanya berdasar pada peningkatan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dan kepentingan segelintir oknum pengusaha pukat ikan untuk menghindari pajak yang lebih mahal dibandingkan usaha penangkapan pukat udang. Yang perlu dipikirkan adalah upaya menjaga sumberdaya ikan yang masih ada agar tetap lestari terutama di wilayah pengelolaan perikanan spesifik seperti Laut Arafura. Moratorium dipandang perlu demi memulihkan sumberdaya ikan yang ada. Penutupan sementara dapat dilakukan melalui penutupan izin baru dan tidak memperpanjang kembali izin operasi kapal pukat ikan yang sudah diberikan. Sementara itu pengendalian pengoperasian pukat udang dapat dilakukan dengan cara mendata kembali usaha penangkapan pukat udang, dan tidak memberikan izin baru hingga sumberdaya ikan tersebut pulih kembali. Sebagai penutup, penulis menyatakan bahwa penamaan pukat ikan bertentangan dengan nomenklatur yang ada dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Upaya pemerintah beberapa tahun terakhir ini dalam melakukan standardisasi trawl kedalam “pukat hela” (sebagai contoh SNI 1-7235-2006 untuk konstruksi pukat hela ganda dan SNI 1-7232-2006 untuk konstruksi pukat hela ikan) kiranya perlu didukung oleh segenap pemangku kepentingan perikanan sehingga pengelolaan sumberdaya ikan dapat dilaksanakan lebih baik, yang menyejahterakan nelayan dan melestarikan sumberdaya.

Penulis adalah Guru Besar Teknologi Penangkapan Ikan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB.

0 komentar