Diskusi di Sinar Harapan beberapa waktu lalu mengemuka pernyataan Prof Dr Hasyim Djalal bahwa Indonesia belum menjadi negara maritim, melainkan masih dalam proses menuju ke sana. Mengapa pernyataan itu mengemuka? Jawabnya, sederhana saja. Indonesia belum mampu memanfaatkan dan mengelola sumber daya kelautan, yakni sumber daya alam (ikan, tambang), transportasi, pariwisata bahari, industri bioteknologi dan jasa kelautan. Dus, mengapa kita sekarang sudah berupaya menggerakkan ekonomi kelautan, tapi justru jalan di tempat? Apakah ada yang keliru dengan kebijakan pembangunan ekonomi kelautan kita? Jawabnya adalah bagaimana menganalisisnya dalam kacamata antropologis, historis dan sosiologis. Secara antropologis, ekonomi kelautan Indonesia berakar pada kebudayaan masyarakat Indonesia yang sejak dahulu sebagai bangsa pelaut. Berbagai literatur dan hasil kajian antropologis membuktikan bahwa manusia Indonesia sudah menjelajahi perairan Nusantara sampai ke Madagaskar di Afrika pada abad ke-7, masa kolonialisme abad 17-19 sampai menjelang Indonesia merdeka (baca: Antony Reid). Penggalian situs Delta Sungai Batanghari di Jambi membuktikan bahwa masyarakat pesisir di wilayah itu sudah menggerakkan aktivitas ekonomi pesisirnya dengan temuan alat tangkap ikan jenis bubu. Bahkan, di pelbagai pesisir pantai di Jawa dan Sumatera ditemukan situs perahu kuno, dan kerajaan maritim Sriwijaya di Sumatera Selatan dan Kerajaan Banten. Sebuah hasil riset juga membuktikan aktivitas bisnis teripang sudah berlangsung sejak abad 14 yang dilakukan orang-orang Sulawesi Selatan. Bahkan, mereka menangkap teripang sampai ke Australia dan seluruh perairan Nusantara. Salah satu situs lukisan Gua di Pulau Muna Sulawesi Tenggara menggambarkan manusia melakukan aktivitas menangkap ikan dengan menggunakan perahu. Maknanya secara antropologi, manusia Indonesia memiliki ikatan yang kuat dengan sumber daya kelautan untuk mempertahankan kehidupannya.
“Dual Economic”
Secara historis-sosiologis membuktikan, perdagangan dan pelayaran yang berlangsung di Nusantara pada abad 15-19 menjadi penggerak utama perekonomian kerajaan-kerajaan Nusantara. Bangsa-bangsa Eropa berupaya keras mencapai Nusantara demi menguasai perdagangan rempah-rempah yang dihasilkan pulau-pulau kecil di Maluku. Tidak berbeda dengan pulau lain di Nusantara. Produk unggulan lokal diperdagangkan secara global dengan basis kekuatannya ekonomi kelautan. Komoditas dari pantai barat dan pantai timur Sumatera adalah kapur barus, lada, kopi, dan karet. Dari Kalimantan diperdagangkan kayu dan hasil hutan lainnya. Komoditas Sulawesi berupa kayu hitam, kelapa, kapas dan ikan. Dari Nusa Tenggara kayu cendana. Pilar ekonomi kelautan adalah komoditas unggulan lokal, perdagangan antarpulau, internasional serta kepelabuhan dengan basisnya kota pantai. Mencermati dinamika ekonomi Nusantara masa itu, sejatinya adalah sebuah model Dual Economic. Di level makro, komoditas perdagangan internasionalnya bersumber pada pertanian dan tanaman perkebunan di satu sisi. Tapi, di sisi lain sektor jasanya transportasi laut. Pada level mikro aktivitas subsistem masyarakatnya berbasiskan pertanian tanaman pangan dan perikanan. Buktinya, masyarakat pulau-pulau kecil di Maluku pada masa lalu selain berprofesi sebagai petani pala dan cengkih, juga beraktivitas menangkap ikan dengan komoditas andalannya adalah teripang, jenis ikan pelagis segar maupun yang diolah (ikan kayu). Ini sudah membudaya dalam komunitas masyarakat pesisir di Indonesia baik yang bermukim di pulau-pulau kecil maupun pesisir. Tengoklah masyarakat Kepulauan Raja Ampat, selain berprofesi sebagai nelayan juga sebagai petani sagu maupun peramu yang diperoleh dari hutan. Makanya, di daerah ini ada tanah adat dan hutan adat. Tapi, ada juga wilayah laut yang dimiliki secara adat dengan model pengelolaan berbasiskan kearifan tradisional. Sayangnya, sekarang pemerintah justru akan memprivatisasi wilayah laut dengan konsep Hak Pengelolaan Perairan Pesisir (HP3) yang amat a-historis. Tidak pernah ada, dalam pengelolaan perairan laut di Nusantara, termasuk di masa kolonial pun, penguasaan laut Nusantara oleh pihak pemilik modal apalagi boleh dialihkan (transferability) dan diperjualbelikan. Sesuatu tanpa akar sejarah adalah “kesesatan”, dan melembagakannya bisa mengundang konflik.
Mengembalikan ”Khitah”
Secara sosio-antropologis, menggambarkan dinamika interaksi antara masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir lebih progresif dibandingkan pedalaman. Dinamika oseanografi perairan laut (gelombang laut, arus, upwilling, dan angin) cenderung mempengaruhi perilaku dan sistem nilai dalam konstelasi budaya politik masyarakat Indonesia. Perilaku yang tegas, jujur, berani, egaliter, terbuka dan menerima pluralisme lebih dominan berkembang dalam masyarakat pesisir. Mereka memosisikan dinamika oseanografi sebagai bentuk tantangan yang membutuhkan keberanian, kejujuran, dan kerja sama antara sesama komunitas. Masyarakat pesisir memiliki interaksi yang tinggi - melalui pelayaran dan perdagangan - dengan komunitas internasional yang beragam entitas budaya, etnik, agama, dan ras. Akibatnya, mereka lebih berpandangan pluralistik ketimbang masyarakat pedalaman. Sebagai masyarakat pelaut, nelayan, dan pedagang, masyarakat pesisir dalam berlayar, berdagang dan menangkap ikan mengutamakan sikap dan budaya keterbukaan, kerja sama, dan egalitarian. Berkembangnya sikap dan budaya ini karena selalu berhadapan dengan bahaya sewaktu-waktu yang bersumber dari alam maupun manusia (bajak laut). Perilaku yang berkembang dalam masyarakat pesisir mirip sistem nilai masyarakat demokrasi dalam negara modern. Dekonstruksi antropologis, historis dan sosiologis tersebut di atas menggambarkan betapa pentingnya ekonomi kelautan yang dibangun secara dual economic. Pola ini tak hanya mempengaruhi dinamika ekonomi masyarakat, tapi juga kebudayaan dan sistem nilainya yang berkembang bahkan sampai kini. Sayangnya, ketika Indonesia merdeka dan di era Orde Baru sampai reformasi kini, pola dual economic yang menopang ekonomi kelautan justru tergerus dari akarnya. Padahal, ia sudah menjadi bagian kebudayaan, dan sistem ekonomi (way of life) yang berkembang secara turun-temurun di bumi Nusantara ini. Diperlukan rekonstruksi bangunan puing-puing dual economic berbasis kelautan sebagai alternatif membangun kekuatan ekonomi bangsa demi mewujudkan ”negara maritim”. Upaya ini membutuhkan dukungan politik yang kuat secara institusional dan struktural. Rekonstruksi ini sekaligus memetakan kekuatan dual economic Indonesia secara geografi dan geo-ekonomi dari wilayah barat sampai timur. Sudah pasti pula mengintegrasikan kekuatan ekonomi terestrial dalam bentuk basis komoditas perdagangan. Inilah kekuatan baru yang secara progresif mengembalikan ”khitah” Indonesia sebagai negara maritim.
Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
Media Komunikasi dan Informasi Mahasiswa
Keamanan Maritim, Keuntungan Politik dan Bisnis
Sulit untuk dibantah bahwa globalisasi dimulai dari laut. Bangsa-bangsa di dunia dari beragam peradaban di masa lalu berinteraksi lewat laut. Interaksi itulah yang merupakan cikal bakal dari globalisasi masa kini. Dalam era globalisasi, ancaman terhadap keamanan maritim merupakan ancaman terhadap globalisasi karena lebih dari 90 persen perniagaan dunia menggunakan moda transportasi laut. Oleh karena itu, dapat dipahami bila masyarakat internasional saat ini sangat khawatir dengan situasi keamanan maritim di perairan Somalia. Pembajakan kapal super tanker MV Sirius Star bertonase 320.000 ton yang bermuatan minyak mentah pada 16 November 2008 sekitar 400 km dari pantai Somalia menunjukkan hal itu merupakan ancaman terhadap perniagaan dunia dan sekaligus stabilitas kawasan. Kasus MV Sirius terjadi saat kasus MV Faina yang bermuatan tank T-72 asal Rusia dengan tujuan Kenya yang dibajak pada awal Oktober 2008 belum dapat diselesaikan. Menyangkut keamanan maritim di perairan Somalia, DK PBB telah menerbitkan resolusi No.1816 pada 2 Juni 2008. Resolusi itu “mendorong” negara-negara lain, khususnya yang memiliki kepentingan dengan rute maritim komersial di lepas pantai Somalia, untuk meningkatkan dan mengkoordinasikan upaya-upaya untuk menangkal perompakan dan pembajakan bersenjata melalui kerjasama dengan Pemerintahan Transisi Federal Somalia. Resolusi itu kemudian diperkuat dengan resolusi DK PBB No.1838 pada 7 Oktober 2008 yang kembali meminta negara-negara berkepentingan untuk menindas pembajakan di perairan Somalia. Perairan Somalia merupakan wilayah tanggung jawab Armada Kelima AS. Selain kapal perang Armada Kelima, di sana kini hadir pula kapal perang dari negara-negara Eropa melalui European Maritime Force (EUROMARFOR), Prancis, Rusia dan India. Kehadiran mereka di sana adalah untuk menindas pembajakan, dalam bentuk melakukan pengawalan terhadap kapal-kapal niaga. Selain itu, hadir pula Blackwater Inc, sebuah perusahaan keamanan AS yang telah malang melintang di Afghanistan dan Irak. Perusahaan itu memberikan jasa pengawalan kapal niaga di sana dan kegiatan itu direstui oleh para pejabat AS di Washington.
Sikap Amerika Serikat
Pertanyaannya kemudian, mengapa sampai kini perairan Somalia justru makin terancam keamanannya? Tentu banyak kalangan sulit menalar mengapa pembajakan masih terjadi di depan mata Armada Kelima AS yang sangat superior, baik dari segi daya tembak, mobilitas, pengindaraan maupun C4ISR (komando, kendali, komunikasi, komputer, intelijen, pengamatan dan pengintaian). Berdiskusi tentang keamanan maritim, seperti yang dilakukan di Harian Umum Sinar Harapan Kamis 20 November lalu, tidak bisa lepas dari bicara politik dan ekonomi/bisnis. Aspek politik menyangkut kepentingan pihak-pihak yang terkait, baik aktor negara maupun non negara. Dalam kasus Somalia, masa-lah internal Somalia berakar pada isu pertarungan antar-suku untuk menduduki kekuasaan. Meskipun PBB dan Barat telah memberikan asistensi kepada Pemerintahan Transisi Federal Somalia, nyatanya pemerintahan itu nyaris tidak mempunyai kekuatan untuk menegakkan otoritasnya ke seluruh wilayah Somalia.
Konflik internal Somalia disinyalir kuat telah mendorong kelompok teroris Al Qaidah untuk membangun basisnya di negeri itu. Kehadiran jaringan tersebut jelas mengkhawatirkan Amerika Serikat, apalagi secara geografis Somalia berada di dekat salah satu choke point strategis dalam dunia pelayaran. Tidak heran bila pasca serangan 11 September 2001, AS segera membentuk Joint Task Force Horn of Africa (JTF HOA) yang berkedudukan di Jibouti, negeri kecil tetangga Somalia yang berhadapan langsung dengan Teluk Aden.
Sejak itu pula Armada Kelima AS meningkatkan kehadirannya di perairan Somalia dan sekitarnya. Terkait dengan meningkatnya ancaman pembajakan di sana, menurut hemat penulis, masalahnya bukan terletak pada ketidakmampuan Armada Kelima, tetapi pada komitmen politik AS sendiri. Negeri itu masih mempunyai trauma terhadap Somalia, karena pasukan kebanggaannya yaitu U.S. Delta Force, Rangers dan U.S. Navy Seals babak belur di tangan milisi Farah Aidid dalam Pertempuran Mogadishu, 3-4 Oktober 1993. Penyelesaian masalah pembajakan di Somalia harus menyentuh pada akar masalah yaitu instabilitas di daratan Somalia.
Indonesia, Selat Malaka
AS terkesan melakukan pembiaran terhadap isu keamanan maritim di perairan Somalia, meskipun sudah ada resolusi DK PBB yang justru disponsori olehnya. Keuntungan politik yang didapat AS adalah mereka mempunyai alasan kuat untuk mempertahankan militernya di Afrika Timur. Perlu diketahui bahwa sejak 1 Oktober 2007, AS telah membentuk Komando Afrika AS (U.S. Africa Command) yang wilayah tanggung jawabnya meliputi seluruh benua Afrika, kecuali Mesir.Isu keamanan di Afrika Timur mempunyai keterkaitan dengan isu keamanan di tanah Arab. Dari aspek bisnis, kehadiran Blacwater Inc tidak dapat dilepaskan dari situasi di Afghanistan dan Irak. Perusahaan ini banyak menumpahkan darah masyarakat sipil di kedua wilayah, sehingga kehadiran mereka menyulitkan pemerintah AS sendiri dalam bekerjasama dengan pemerintahan di kedua negara. Kekacauan di perairan Somalia merupakan kesempatan emas bagi Blackwater Inc untuk mencari lahan konflik baru, meskipun keduanya masih terus bercokol di Afghanistan dan Irak. Bisa dibayangkan berapa juta dolar keuntungan yang akan mereka raih dengan mengawal kapal-kapal niaga yang lewat Teluk Aden dan secara hukum mereka sepertinya kebal terhadap tuntutan pengadilan mana pun. Unsur bisnis juga menghinggapi kegiatan pembajakan yang dilaksanakan oleh para aktor non negara di Somalia. Bila tebusan untuk satu kapal niaga saja nilainya jutaan dolar, berapa keuntungan yang mereka raih dalam setahun. Sementara masalah pembajakan di Somalia sudah berlangsung bertahun-tahun dan penyelesaiannya selalu melalui tebusan. Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dari bisnis pembajakan? Apakah hanya terbatas pada orang-orang Somalia ataukah ada keterlibatan pihak lain di luar Somalia? Apakah aspek bisnis ini mempunyai keterkaitan dengan aspek politik seperti yang telah diuraikan? Yang pasti, salah satu pihak yang diuntungkan adalah para pedagang senjata Preseden pembajakan di Somalia sangat mungkin terjadi di Indonesia, khususnya di Selat Malaka. Beberapa kasus perompakan dan pembajakan di perairan itu bermotif bisnis, artinya ada pihak dengan dukungan finansial kuat yang mendukung kegiatan para perompak dan pembajak. Indonesia tetap harus bekerja keras agar tak ada pihak yang memandang perairan itu dan tiga ALKI sebagai ladang bisnis keamanan maritim.
Penulis adalah analis kekuatan dan keamanan maritim.
US$ 50 Miliar Hilang di Sektor Perikanan Laut
Dunia menderita kerugian US$ 50 miliar setiap tahun di sektor perikanan laut (marine fisheries) akibat keburukan manajemen, inefisiensi dan kelebihan tangkap (overfishing). Demikian hasil kajian bersama Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Bank Dunia, yang disiarkan 9 Oktober 2008. Kalau dihitung keseluruhannya dalam tiga dasawarsa terakhir, total kerugian itu US$ 2 triliun. Laporan hasil kajian itu, berjudul The Sunken Billions: The Economic Justification for Fisheries Reform, mengingatkan, apabila perikanan laut dikelola dengan benar, kerugian itu bisa dibalikkan menjadi keuntungan ekonomi berkelanjutan bagi jutaan nelayan dan masyarakat pesisir. “Perikanan berkelanjutan mensyaratkan kemauan politik untuk mengubah dari insentif buat tangkap lebih ke insentif untuk pembinaan bertanggungjawab,” kata Kieran Kelleher, Ketua Tim Perikanan Bank Dunia. Kehilangan rezeki dari perikanan ini terjadi jauh sebelum harga BBM naik. Padahal usaha dan teknologi penangkapan ikan sudah berkembang pesat. Penyebab utamanya adalah merosotnya stok ikan di laut. Makin sedikit ikan yang bisa ditangkap, maka lebih makan ongkos untuk menjelajah, mencari dan menangkapnya. Terjadi kelebihan kapasitas armada menjadikan investasi mubazir dan pemborosan ongkos operasi.
Pembangunan armada, pemanfaatam peralatan teknologi yang lebih kuat dan canggih malah menambah pencemaran dan penciutan habitat ikan dan menurunkan ketersediaan-nya di seluruh perairan dunia. Perikanan laut mandek, selama lebih satu dekade, terus-terusan berkisar 85 juta ton/tahun. Produktifitas, dihitung dari penangkapan per nelayan dan per kapal ikan, menurun. “Terjadi kelebihan kapasitas yang masif pada armada perikanan global”, kata Kelleher. Dan ekses armada itu memperebutkan hasil sumber daya ikan yang produknya sudah stagnan dan tidak efisien secara ekonomi. Menurut FAO, lebih 75 persen stok ikan dunia sudah dieksploitasi penuh atau malah overexploited.
Hak Akses dan Kepemilikan Nelayan
Perikanan yang sehat secara ekonomi bukan ditentukan hanya oleh restorasi stok ikan, tapi oleh peningkatan kehidupan layak, ekspor, ketahanan pangan. Ini harus nampak dari kesinambungan suplai dan keuntungan dari kegiatan prosesing dan distribusi, dan penyediaan lapangan kerja. Rasionya, untuk setiap satu orang melaut, ada tiga orang yang bekerja di darat.
Laporan ini memaparkan jalan keluarnya, antara lain menegakkan hak hak nelayan dan masyarakat pesisir dan memberi insentif kepada mereka untuk bergiat di bidang perikanan secara ekonomis, efisien dan bertanggungjawab. Hak tersebut adalah akses dan kepemilikan. Dan untuk kegiatannya, para nelayan, berorganisasi atau berkelompok merumuskan bersama insentif yang dibutuhkan. Ini sudah tentu tentu cocok buat Indonesia yang punya garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada (81.000 kilometer) dan pemukim pesisir terbanyak di dunia. Lagipula hal ini sebenarnya mengembangkan ”rights-based fisheries” yang diserukan ASEAN tentang perikanan berkelanjutan dan ketahanan pangan (ASEAN’s Resolution on Sustainable Fisheries for Food Security for the ASEAN Region). Namun kita harus mewaspadai apa yang dikhawatirkan oleh pengamat pengamat perikanan dan kelautan IPB, Suhana dan Mohamad Karim terhadap privatisasi perairan pesisir yang dimungkinkan oleh UU No 27 Tahun 2007. Payung hukum tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berlaku efektif Juli 2008 itu memberikan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Pemerintah mengharapkan sistem HP-3 ini memberi pendapatan dari perijinan dan pajak. Tapi dampaknya bisa membuka peluang eksploitasi sumberdaya alam yang akan merusak lingkungan. Dan memarjinalkan rakyat yang harus berkompetesi dengan pihak pemodal yang jauh lebih kuat. (Sinar Harapan, 16 Juli 2008). Perlu pula dicatat, FAO dan Bank Dunia menyatakan bahwa US$ 50 miliar yang “nyungsep” di perikanan laut itu adalah ramalan konserfativ, dan tidak termasuk dari penangkapan ikan untuk rekreasi dan pariwisata, serta kerugian akibat pencurian. Nah berarti belum termasuk kerugian Rp 30 triliun (atau lebih 3 miliar dolar AS) yang diderita bangsa Indonesia setiap tahunnya oleh illegal fishing. Angka itu adalah 25 persen dari total potensi perikanan yang dimiliki Indonesia sebesar 1,6 juta ton per tahun.
Menjadi Rezeki Orang Lain
Pencurian ikan sering terjadi di Laut China Selatan dan Laut Arafura oleh kapal-kapal asing. Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Saud P Hutagalung bilang pencurian ikan di perairan Indonesia terjadi setiap hari. Pencurian ikan makin marak pasca kenaikan BBM, karena armada perikanan rakyat maupun nasional praktis menghentikan operasinya. Dikhawatirkan kapal kapal patroli TNI-AL dan DKP juga mengurangi pelayarannya, mengingat perairan yang dikover begitu luas, yakni 70% dari wilayah Nusantara. Ironisnya, kapal kapal asing seperti yang dari China, Vietnam, Thailand, Filipina, Malaysia, yang mencuri (di pihak mereka: mencari) ikan di perairan Indonesia menggunakan BBM yang disubsidi oleh negaranya. Maka muncul desakan agar kebijakan penyewaan pesisir dan pulau kecil yang bisa menyikut hak hidup nelayan ditinjau kembali, dan armada perikanan kita diberi subsidi. Tapi masih begitu banyak langkah yang harus ditempuh untuk memulihkan asset perikanan tangkap nasional senilai Rp 30 triliun, serta memperbaiki neraca perikanan dunia yang negatif 50 miliar dolar AS untuk kesejahteraan rakyat. Tidak cukup dengan memberikan hak hak dan insentif kepada nelayan dan masyarakat pesisir. Diperlukan tindakan untuk memulihkan lingkungan sumber daya perairan. Efisiensi tidak bisa lagi hanya bertumpu pada teknologi penangkapan yang hebat yang malah merusak habitat. Perlu ada moratorium penangkapan untuk memberi kesempatan pada pemulihan jumlah ikan. Menggencarkan akuakultur tanpa mencemari dan merusak pesisir. Perlu bilik bilik pendingin, perlu industri untuk memanfaatkan optimal hasil tangkapan seperti minyak ikan, tepung ikan, pengalengan, pengasapan dll. Doktrin klasik menyatakan laut adalah warisan bersama ummat manusia, tapi sama sekali tidak berlaku bahwa negara anggota masyarakat dunia itu harus membagi-bagi hasil penggalian dari warisan itu untuk menyantuni negara negara lain. Maka, kalau Indonesia tidak mampu menjaga, menggali, memanfaatkan perairannya sendiri, teritorial mau pun ZEE, maka Rp.30 trilun itu tetap menjadi rezeki orang lain, secara legal atau pun illegal.
Penulis adalah wartawan senior. Juga mengasuh dwimingguan agribisnis AGRINA.
Pengelabuan Nomenklatur Pukat Ikan
Ide untuk melakukan moratorium sementara pukat ikan di Laut Arafura oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) hendaknya disambut dan disikapi secara bijak. Laut Arafura yang merupakan surga bagi kegiatan penangkapan ikan dan udang bisa jadi hanya tinggal kenangan akibat kesalahan pengelolaan. Berbagai hasil penelitian mengindika-sikan terjadinya penurunan stok ikan di perairan itu. Bahkan, kondisinya hampir mendekati lebih tangkap (over fishing atau over exploited). Ini disebabkan oleh banyaknya kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan pukat ikan dan pukat udang disamping adanya kegiatan illegal fishing dengan alat tangkap sejenis dan juga trawl berpasangan (pair trawl) yang jelas-jelas dilarang. Permasalahan yang terjadi di Laut Arafura yang mesti kita cermati adalah pengoperasian pukat ikan yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Jika melihat ke belakang, diizinkannya pengoperasian pukat udang di Laut Arafura adalah buntut dari Keppres No. 30 tahun 1980 tentang Penghapusan Trawl di Seluruh Wilayah Indonesia. Lalu dikeluarkan Keppres No. 85/1982 yang membolehkan pukat udang (trawl yang dilengkapi oleh alat pemisah ikan) beroperasi di perairan sekitar Kepulauan Kei, Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Aru, dan Irian Jaya, yaitu di Laut Arafura di sebelah timur garis 130°BT dan di luar isobath 10 meter. Berdasar regulasi tersebut, maka yang boleh beroperasi di Laut Arafura adalah pukat udang bukan pukat ikan. Pukat ikan atau dikenal dengan fish net tidak tercatat di dalam buku Statistik Perikanan Indonesia. Alat tangkap ini hanya diizinkan beroperasi di perairan ZEE Indonesia Samudera Hindia perairan barat Sumatera sekitar Daerah Istimewa Aceh dengan batas koordinat 4° LU s.d. 96° BT (SK Menteri Pertanian 770/Kpts/IK.120/10/96). Pengoperasiannya di Laut Arafura hanya diatur oleh Juklak Dirjen Perikanan No. IK. 340/DJ.3481/90K, sehingga tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Nomenklatur Pukat Ikan
Salah satu penyebab kesalahan adalah penamaan (nomenklatur) trawl yang tidak tepat. Penamaan pukat ikan di Indonesia jika merunut pada penamaan trawl secara internasional menurut International Standard Statistical Classification on Fishing Gears yang dirilis FAO, sebagai alat tangkap yang dioperasikan dengan cara menarik/menyeret jaring pada kolom perairan dengan kapal penangkap. Secara umum golongan ini dapat dibagi atas trawl dasar yang dioperasikan di dasar atau dekat dasar perairan (beam trawl, one-boat otter trawl, two-boat trawl) dan mid-water trawl yang dioperasikan jauh dari dasar perairan (otter trawl dan two-boat trawl). Trawl diklasifikasikan oleh von Brandt (1984) kedalam kelas alat tangkap dragged gears (metode penangkapan dengan alat yang diseret). Kelompok alat tangkap dalam kelas ini memiliki kantong atau dinding jaring yang diseret/ditarik pada perairan dekat dengan dasar atau kolom perairan untuk waktu tertentu. Prinsip penangkapannya adalah menyaring biota perairan yang cenderung pasif dengan alat tangkap trawl yang aktif. Klasifikasi nasional adalah yang dianut dari Standar Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, terbitan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Depar-temen Kelautan dan Perikanan. Pengklasifikasian ini dimulai sejak pertama kali diterbitkannya buku statistik perikanan Indonesia pada 1970-an yang didesain oleh Mr. Yamamoto seorang konsultan JICA yang bekerja untuk Direktorat Jenderal Perikanan pada waktu itu. Menurut standar tersebut, alat tangkap yang digunakan di seluruh Indonesia dibagi menjadi 10 kelompok, dan trawl diklasifikasikan sebagai pukat udang (shrimp trawl). Belum adanya standar baku penamaan termasuk standar baku desain dan konstruksi alat tangkap trawl telah menstimulir munculnya nama-nama lokal sebagai kamuflase untuk menghindari Keppres No. 39/1980 tentang pelarangan pengoperasian trawl. Pelanggaran dan modus operandinya diawali dengan pengaburan nama jaring (pukat) yang secara teknis konstruksi menyerupai trawl seperti jaring dogol, lampara dasar, arad, cantrang, otok (cotok), dengan cara memodifikasi sebagian desain-konstruksi dan mengubah cara pengoperasianya.
Akal-akalan
Menurut Juklak Dirjen Perikanan (No. IK. 340/DJ.3481/90K), pukat ikan didefinisikan sebagai jaring penangkap ikan berbentuk kantong yang dilengkapi sepasang (2 buah) papan pembuka mulut jaring (otter board), tujuan utamanya untuk menangkap ikan di perairan pertengahan (bathy pelagic) dan di perairan dasar (demersal), yang dalam pengopersiannya ditarik melayang di atas dasar oleh 1 (satu) buah kapal motor. Pengoperasian pukat ikan ini hanya dilakukan di ZEEI Samudera Hindia.
Dapat dikatakan dari fakta tersebut, pukat ikan sebenarnya adalah trawl yang dioperasikan di atas kolom perairan atau midwater trawl dan tidak dioperasikan pada dasar perairan sehingga target utama dari pukat ikan adalah ikan bukan udang, namun yang terjadi di lapangan adalah pukat ikan menangkap ikan demersal dan udang. Alasan yang dikemukakan jika diperiksa aparat, udang merupakan hasil tangkapan sampingan. Pemberian izin oleh DKP kepada pemilik kapal pukat ikan di Laut Arafura hanya berdasar pada peningkatan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dan kepentingan segelintir oknum pengusaha pukat ikan untuk menghindari pajak yang lebih mahal dibandingkan usaha penangkapan pukat udang. Yang perlu dipikirkan adalah upaya menjaga sumberdaya ikan yang masih ada agar tetap lestari terutama di wilayah pengelolaan perikanan spesifik seperti Laut Arafura. Moratorium dipandang perlu demi memulihkan sumberdaya ikan yang ada. Penutupan sementara dapat dilakukan melalui penutupan izin baru dan tidak memperpanjang kembali izin operasi kapal pukat ikan yang sudah diberikan. Sementara itu pengendalian pengoperasian pukat udang dapat dilakukan dengan cara mendata kembali usaha penangkapan pukat udang, dan tidak memberikan izin baru hingga sumberdaya ikan tersebut pulih kembali. Sebagai penutup, penulis menyatakan bahwa penamaan pukat ikan bertentangan dengan nomenklatur yang ada dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Upaya pemerintah beberapa tahun terakhir ini dalam melakukan standardisasi trawl kedalam “pukat hela” (sebagai contoh SNI 1-7235-2006 untuk konstruksi pukat hela ganda dan SNI 1-7232-2006 untuk konstruksi pukat hela ikan) kiranya perlu didukung oleh segenap pemangku kepentingan perikanan sehingga pengelolaan sumberdaya ikan dapat dilaksanakan lebih baik, yang menyejahterakan nelayan dan melestarikan sumberdaya.
Penulis adalah Guru Besar Teknologi Penangkapan Ikan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB.
Sebagai negara kepulauan hingga saat ini Indonesia senantiasa dihadapkan pada kompleksitas permasalahan di wilayah laut. Pada bidang hukum, misalnya, Indonesia masih dihadapkan pada beberapa permasalahan seperti tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang berujung pada konflik kewenangan antarlembaga. Selain itu, Indonesia dihadapkan pada masalah adanya kekosongan hukum dalam menciptakan bangunan hukum yang utuh dan terintegrasi. Sementara itu, sebagaimana kita ketahui, pada bulan Oktober yang lalu DPR telah mengesahkan Undang-undang Wilayah Negara dalam mengatasi permasalahan kekosongan hukum terkait dengan permasalahan kewilayahan, baik yang bersifat politik maupun ekonomi. Hal ini sebagaimana tujuan yang termaktub dalam wilayah negara, yaitu menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara serta mengatur pengelolaan dan pemanfaatan wilayah negara dan kawasan perbatasan. Keberhasilan pengesahan UU Wilayah Negara adalah salah satu bentuk political will Pemerintah dalam membangun Indonesia sebagai negara kepulauan. Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah kehadiran UU Wilayah Negara sudah dianggap mampu menuntaskan kompleksitas permasalahan bangsa di wilayah laut? Kompleksitas permasalahan dalam membangun kelautan Indonesia dimulai dari ego-sektoral. Beberapa lembaga negara merasa berhak mengelola laut, sehingga mereka merancang suatu undang-undang untuk dijadikan dasar hukum untuk menjalankan wewenangnya. Akibatnya, terjadi tumpang tindih peraturan perundang-undangan dan menciptakan inefisiensi serta konflik kewenangan antarlembaga.
Koordinasi Hanya di Atas Kertas
Konflik kewenangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu Pertama, konflik kewenangan dalam pengelolaan sumber daya di wilayah laut, termasuk pemberian izin pemanfaatan. Contohnya antara Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Departemen Kehutanan (Dephut) yang mempunyai mandat dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan. Dephut mendapatkan pengakuan hukum dari UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sementara itu, DKP mendapatkan pengakuan hukum dari UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Selain itu, konflik tata ruang di wilayah pesisir antara UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan UU No 27 Tahun 2007. Belum lagi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang memberi Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang ditolak beberapa kelompok masyarakat, khususnya kalangan pemerhati lingkungan hidup.
Kedua, setidaknya terdapat delapan lembaga penegak hukum yang berwenang di wilayah laut, yaitu TNI AL, Polri, PPNS DKP, PPNS Departemen Perhubungan, PPNS Bea Cukai, PPNS Imigrasi, PPNS Lingkungan Hidup, dan PPNS Dephut. Bila dikelompokkan pada batasan wilayah kewenangannya, terdapat tiga kelompok, yaitu (1) lembaga yang memiliki kewenangan hanya terbatas pada wilayah perairan Indonesia atau pada wilayah yang dikelompokkan statusnya kedaulatan negara, seperti Polri, PPNS Dephub, PPNS Dephut; (2) lembaga yang memiliki kewenangan pada wilayah perairan Indonesia yang statusnya kedaulatan negara dan Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, serta Landas Kontinen yang statusnya hak berdaulat (sovereign rights) yang tentu saja bersifat spesifk, seperti PPNS DKP, PPNS Bea Cukai, PPNS Imigrasi, dan PPNS Lingkungan Hidup, (3) lembaga yang memiliki kewenangan pada wilayah perairan Indonesia yang statusnya kedaulatan negara dan hak berdaulat, seperti TNI AL. Banyaknya lembaga penegak hukum di wilayah laut, bukan berarti masalah pelanggaran semakin sedikit dan wilayah laut bebas dari segala tindakan ilegal. Masih maraknya tindakan pelanggaran hukum tersebut bukan hanya disebabkan oleh minimnya sarana dan prasarana di antara lembaga penegak hukum, tetapi lebih dari itu. Masing-masing lembaga tersebut dihadapkan pada masalah “koordinasi”. Meskipun beberapa undang-undang telah mengamanatkan dilakukannya koordinasi dalam penegakan hukum, pada praktiknya kata “koordinasi” hanya berlaku di atas kertas.
Pembangunan Hukum
Prof Hasjim Djalal mengatakan ketidakjelasan koordinasi dan pembagian wewenang serta tanggung jawab di antara pejabat yang berwenang di berbagai bidang tersebut akan menimbulkan kerancuan, overlapping jurisdiction dan memungkinkan terjadinya conflicting jurisdiction. Sudah semestinya Pemerintah merancang bangunan hukum di bidang kelautan secara komprehensif dan integralistik. Ketiadaan konsep ini hanya akan menyebabkan wilayah laut menjadi ajang pertarungan kepentingan, yang hanya akan mengorbankan sumber daya laut. Oleh karena itu, pada tahun 2009 Pemerintah harus mampu membuat undang-undang yang selama ini tersimpan dalam laci. Strategi dalam menciptakan bangunan hukum di bidang kelautan, di antaranya pertama, harmonisasi hukum. Strategi ini didasarkan pada terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan, baik antarundang-undang maupun antara undang-undang dengan peraturan pelaksana atau peraturan di bawahnya. Tentu saja, harmonisasi tersebut harus mengedepankan asas kedaulatan demi terjaganya NKRI serta asas kenusantaraan dalam menjaga kepentingan seluruh Indonesia. Dengan harmonisasi, diharapkan konflik kewenangan antarlembaga negara, khususnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya dapat menjamin pembangunan berkelanjutan dan menciptakan kesejahteraan. Kedua, restrukturisasi lembaga penegak hukum. Meskipun sudah dibentuk Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA), benturan di antara lembaga penegak hukum masih kerap terjadi. Oleh karena itu, gagasan beberapa pakar mengenai pembentukan Coast Guard atau Penjaga Laut dan Pantai harus segera mendapatkan perhatian pemerintah.
Ketiga, percepatan penyusunan perundang-undangan. Terkait dengan masih adanya kekosongan hukum, percepatan penyusunan peraturan perundang-undangan harus dilakukan. Tentu saja dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang sudah ada. Dengan kata lain, perlu adanya undang-undang baru yang melengkapi dari undang-undang yang sudah ada, seperti perlunya penyusunan UU Perairan Pedalaman dan UU Zona Tambahan. Selain itu, UU No 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen perlu segera direvisi karena UU ini masih mengacu pada ketentuan Konvensi Jenewa 1958 yang hanya mendasarkan pada kedalaman laut.
Penulis adalah dosen Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan FPIK-IPB dan Staf Peneliti Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB).
Ancaman krisis pangan masih saja menghantui Indonesia. Sekalipun tahun 2008 dinyatakan dapat berswasembada beras, ketidakpastian iklim global saat ini juga menjadi ancaman serius.
Hujan yang melanda Pulau Jawa awal tahun 2009 ini telah menghancurkan ribuan hektare sawah. Kondisi ini tentu amat mengkhawatirkan. Upaya menciptakan keanekaragaman pangan adalah sebuah keniscayaan, salah satu sumbernya dari lautan. Luas lautan Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2 menyediakan sumber pangan melimpah. Lautan menyediakan sumber pangan berupa ikan, crustacea, kerang-kerangan, dan rumput laut. Masalahnya, kita memanfaatkan sumber pangan lautan ini sering kali masih dalam bentuk segar, kecuali rumput laut. Ekspor ikan Indonesia pun masih dalam bentuk ikan segar. Proses diversifikasi pangan bersumber dari lautan masih minim. Kalaupun ada kuantitasnya relatif terbatas, seperti nugget ikan, bakso ikan, dan jenis pengolahan lainnya. Ikan masih dominan diolah secara tradisional, menjadi ikan asin, ikan kering, dan ikan kayu. Kita belum menemukan makanan cepat saji berbahan baku ikan. Kebanyakan makanan cepat saji masih berbahan baku daging ternak besar maupun unggas. Bahkan, merek dagangnya pun dari luar negeri.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Pertama, kultur pangan. Sekalipun perairan laut Indonesia amat luas, jumlah penduduk Indonesia yang mengonsumsi sumber pangan dari lautan relatif kecil. Konsumsi ikan penduduk Indonesia per kapita baru mencapai 25 kg per tahun. Bandingkan dengan Jepang yang mencapai di atas 100 kg per kapita per tahun. Kondisi ini berkorelasi dengan kultur masyarakat Indonesia. Pulau Jawa yang penduduknya mencapai 60% dari total penduduk Indonesia tidak memiliki tradisi pangan seafood. Sementara itu, sebagian besar penduduk luar Jawa mengonsumsi ikan, seperti Sulawesi, Maluku, Papua, dan sebagian besar pesisir Sumatera dan Kalimantan. Akan lebih afdol, jika pemerintah dan masyarakat mulai membudayakan konsumsi pangan bersumber dari lautan.
Bermazhab Beras
Kedua, teknologi. Penguasaan teknologi pengolahan pangan lautan masih berkutat pada teknologi tradisional. Model teknologi pengolahan ikan asing, kering, ikan kayu, dan pindang masih mendominasi. Kita belum mencapai teknologi madya dalam pengolahannya. Buktinya, Indonesia sampai kini masih saja mengimpor tepung ikan dan garam. Industri tepung ikan maupun garam kita terbentur problem teknologi. Makanya, mengupayakan pengembangan teknologi penganekaragaman pangan menjadi penting. Ketiga, geger budaya. Masyarakat Indonesia kerap kali mengalami problem ”geger budaya” termasuk dalam aspek pangan. Masyarakat merasa kurang percaya diri apabila tidak mengonsumsi pangan yang berlabel asing. Apalagi, kalangan muda Indonesia, menganggap diri ”kampungan” bila belum masuk restoran cepat saji yang namanya sudah marketable. Padahal, gizi makanan cepat saji belum tentu mengandung asupan gizi yang mencukupi kebutuhan tubuh manusia. Kemenangan usaha makanan cepat saji—sebagian besar milik perusahaan multinasional—adalah citra yang terbentuk. Padahal, kalau mengembangkan makanan cepat saji berbahan baku ikan dibarengi citra tersendiri akan lain ceritanya. Apalagi yang melakukannya masyarakat kita sendiri. Upaya ini selain mengandung unsur nilai-nilai kebangsaan, juga mampu “menganekaragamkan” produk pangan. Diversifikasi pangan tak hanya bersumber di daratan, melainkan juga di lautan. Implikasinya, Indonesia jauh dari ancaman krisis pangan. Keempat, politik pangan Indonesia selama ini cenderung bermazhab beras. Penganekaragaman pangan dan produknya masih sebatas slogan. Sebab, ukuran keberhasilan mencapai swasembada pangan bukan sekadar indikator keberhasilan suatu rezim pemerintahan melainkan juga sebagai dagangan politik pemegang pemerintahan yang sedang berjalan. Padahal, apabila pemerintah membebaskan rakyat untuk mengupayakan keanekaragaman dan mendiversifikasikan pangannya, hal itu otomatis akan menjauhkan rakyat dari ancaman krisis. Salah satunya melalui sumber pangan dari lautan. Inilah yang kurang mendapatkan perhatian serius sejak pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, maupun pada masa reformasi hingga saat ini. Politik pangan semacam ini telah menggerus kearifan lokal rakyat di pedesaan pesisir maupun pedalaman dalam menyediakan pangan secara berdaulat.
Urgensi Kedaulatan
Dalam medio awal tahun 2009 ini, di Menado akan berlangsung konferensi kelautan dunia atau World Ocean Conference (WOC). WOC ini akan dihadiri lebih dari 100 negara dari berbagai belahan dunia. Forum ini pasti akan membahas agenda-agenda penting mengenai kelautan dunia. Amat penting forum ini juga memasukkan isu “kedaulatan pangan” yang bersumber dari lautan sebagai salah satu agendanya, karena ancaman krisis pangan sudah menjadi kepedulian seluruh masyarakat dunia internasional. Ancaman iklim global yang sudah menjadi kekhawatiran dunia, termasuk pemerintahan Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Barack H Obama yang baru saja dilantik, mendapatkan prioritas. Iklim global memang akan menaikkan suhu permukaan bumi dan permukaan lautan. Tapi, dampak lanjutannya akan mengancam sumber pangan di darat maupun lautan. Iklim global akan menimbulkan kekeringan, banjir, badai dan topan yang menimbulkan kegagalan panen dari pertanian tanaman pangan. Juga, kenaikan suhu lautan mengancam kehidupan terumbu karang yang menjadi habitat ikan, dan terputusnya mata rantai makanan di lautan. Apabila rantai makanan terputus, berbagai jenis plankton yang rentan terhadap perubahan suhu ekstrem akan mengalami kematian. Padahal, plankton selain berperan sebagai produktivitas primer yang menghasilkan oksigen juga berperan sebagai sumber pakan bagi jenis ikan pada tingkatan suatu level rantai makanan di lautan. Berbagai riset tahun 2007 memprediksikan, apabila dampak iklim global ini tak diatasi maka baru pada tahun 2050 kita akan menikmati lagi seafood.
Mengapa? Terputusnya suatu komponen dalam rantai makanan akan memutuskan suatu sistem kehidupan dalam lautan. Maka, ide mengupayakan keanekaragaman pangan dan produknya bersumber dari lautan menjadi keniscayaan guna mewujudkan kedaulatan pangan. Jadi, pangan tak hanya bersumber dari daratan semata. Inilah substansi mengapa isu kedaulatan pangan menjadi urgen untuk diangkat dalam forum WOC.
Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.
Belum pernah terjadi selama Indonesia merdeka, pers kita dalam kurun waktu yang cukup lama tidak lagi mengalami tekanan dari pemerintah. Barulah sekarang ini, sudah hampir 11 tahun pers kita mendapat peluang untuk sepenuhnya memanfaatkan kebebasan pers. Pemberedelan pers, seperti juga sensor dan penghentian siaran oleh siapa pun, dilarang oleh Undang-Undang (UU) Pers yang berlaku sekarang. Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang disetujui DPR 13 September 1999 dan disahkan oleh Presiden Habibie 10 hari kemudian, dengan tegas menyatakan (Pasal 4 Ayat 2): “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, dan pelarangan penyiaran.” Sebelumnya, UU Pokok Pers Tahun 1966 dan Tahun 1982 juga menegaskan ketentuan yang sama, dan untuk penerbitan, pers “tidak memerlukan Surat Izin Terbit.” Akan tetapi, ketentuan tentang SIT tersebut dalam undang-undang tahun 1966 dikaburkan oleh Pasal 20 Ayat (1)-a yang berisi, “Dalam masa peralihan keharusan mendapatkan Surat Izin Terbit masih berlaku sampai ada keputusan pencabutannya oleh Pemerintah dan DPR (GR).” Ayat itu dihapus dalam undang-undang tahun 1982. Akan tetapi, sebaliknya, undang-undang ini menetapkan pada Pasal 13 Ayat (5) bahwa “Setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers yang dikeluarkan oleh Pemerintah.” Ketentuan SIT dan SIUPP ini terus berlaku sampai akhir masa Orde Baru dan lahirnya UU Pers tahun 1999. Undang-undang pers yang membatasi kebebasan pers pada masa Indonesia merdeka baru dilahirkan pada 12 Desember 1966. Namun, tekanan terhadap pers sudah dimulai sejak tahun-tahun awal kemerdekaan. Surat kabar Revolusioner yang terbit di Yogyakarta, dilarang beredar ketika memuat tulisan yang menyebut Presiden Soekarno “bombastis”. Koran Soeara Moeda di Solo diberedel dengan tuduhan pro swapraja, ketika di kota itu orang sedang gandrung anti-swapraja. Harian Soeara Rakyat edisi Kediri diberedel beberapa hari oleh gubernur militer Jawa Timur karena memuat berita penembakan mati Muso, pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memimpin pemberontakan di Madiun. Pemerintah RI di Yogyakarta pada September 1948 memberedel tiga surat kabar lokal yang berhaluan politik kiri: Revolusioner, Patriot, dan Soeara Iboekota.
Lisensi Orde Lama dan Orde Baru Kebebasan pers tetap tidak terjamin setelah penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949. Selama beberapa tahun berikutnya terjadi penutupan kantor berita dan sejumlah surat kabar. Juga penahanan terhadap sejumlah wartawan kita dan pengusiran terhadap beberapa wartawan asing. Pada 1957, tercatat 20 kasus pemberedelan sementara di Jakarta dan 11 kasus pers di luar Ibu Kota. Mochtar Lubis, pemimpin redaksi harian Indonesia Raya, dikenai tahanan rumah dan dipenjarakan selama sembilan tahun hampir terus-menerus karena disangka “terlibat komplotan Zulkifli Lubis.” Pada 1958, 12 surat kabar di Jakarta dilarang terbit sementara. Sementara itu di daerah, tercatat 21 kasus penindakan terhadap pers. Selama tahun 1959, dilakukan pemberedelan terhadap 25 surat kabar di Jakarta dan enam surat kabar daerah. Selain pemberedelan, juga ada keharusan pemilikan izin terbit bagi media pers cetak. Pada 1 Oktober 1958, semua surat kabar dan majalah harus didaftarkan kepada Penguasa Perang Daerah Jakarta Raya (Peperda Jaya) untuk memperoleh Surat Izin Terbit (SIT). SIT akhirnya diberlakukan di seluruh Indonesia mulai 12 Oktober 1960 berdasarkan Peraturan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) Nomor 10 Tahun 1960. Inilah awal pemberlakuan lisensi bagi media pers cetak di Indonesia pada masa merdeka. Sebelum ini, hanya pernah terjadi pada masa pendudukan militer Jepang selama Perang Dunia Kedua. Tidak ada lisensi seperti ini pada masa penjajahan Belanda. Pada Februari 1965, Presiden Soekarno memerintahkan penutupan koran-koran pendukung Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) yang dituduh anti-Soekarnoisme. Menjelang akhir tahun 1965, ketika berlangsung masa transisi ke Orde Baru, 46 surat kabar—dari 163 surat kabar yang ada di seluruh Indonesia—diberedel tanpa batas waktu. Kebanyakan yang diberedel adalah terbitan Partai Komunis Indonesia, atau dianggap bersimpati kepada PKI, atau “tidak menaati Undang-Undang Pers.” Larangan terbit terhadap media pers hampir terus-menerus berlangsung selama masa Orde Baru dan barulah berakhir dengan penutupan dua majalah berita, Tempo dan Editor, serta tabloid politik Detik pada 1994.
Tekanan Hukum, Pengusaha, dan Publik
Walaupun tekanan dari pemerintah terhadap media pers diharapkan benar-benar berakhir pada masa Reformasi, kebebasan pers kita belum sepenuhnya terlindungi dan terjamin. Masih ada tekanan-tekanan lain yang menggelisahkan para pengelola media pers kita. Tekanan ini dapat berasal dari apa yang disebut sebagai kriminalisasi pers, yaitu penggunaan hukum pidana yang represif, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dapat memenjarakan wartawan karena karya jurnalistiknya sampai maksimal tujuh tahun. Tekanan juga dapat berasal dari para pengusaha yang lebih memilih jalur hukum untuk menyelesaikan sengketa dengan media pers. Jalur hukum pidana memungkinkan wartawan mendapat sanksi penjara, sedangkan jalur hukum perdata dapat menyebabkan perusahaan pers terkena sanksi denda yang tinggi. Jika hukuman denda sedemikian tinggi, itu akan membangkrutkan perusahaan pers, maka akibat yang dialami media pers tidak ubahnya seperti pemberedelan melalui jalur hukum. Tekanan lain yang agak sering terjadi, terutama pada tahun-tahun awal Reformasi, berasal dari publik yang melakukan aksi kekerasan. Harian Jawa Pos di Surabaya pernah tidak terbit satu edisi karena para wartawannya tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya ketika didemonstrasi sampai hampir tengah malam sebagai protes terhadap berita yang tidak akurat. Harian Radar Sulteng di Palu menghentikan penerbitannya selama tiga hari karena tekanan para demonstran yang memprotes satu tulisan. Tabloid Bijak di Padang tidak pernah terbit lagi sejak peralatan kantornya dirusak oleh para demonstran. Radio Rasitania FM di Solo menghentikan siaran selama satu minggu atas tuntutan para demonstran yang menentang satu talkshow tentang agama. Kita berharap bahwa tekanan-tekanan ini, terlebih lagi tindakan kekerasan oleh massa, lambat laun akan berakhir sejalan dengan pemahaman kita terhadap makna pers yang kritis dan independen di sebuah negara demokrasi. Memang, ketidakpahaman di kalangan masyarakat tentang kedudukan pers sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi publik hingga kini masih berkembang. Hak jawab atau klarifikasi dari subjek berita yang ingin mengemukakan versinya adalah salah satu cara untuk menyampaikan aspirasi.
Penulis adalah pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS), dan Ketua Dewan Pengurus Voice of Human Rights (VHR) News Centre di Jakarta.